Its not a Suffering


akhirnya saya memutuskan untuk menulis (lagi). Padahal batrei laptop sudah tinggal kurang dari 15 menit, waktu yang sangat sebentar bagi saya untuk memilih kata-kata yang tepat dalam tulisan ini.
Anyway, beberapa bulan setelah bulan April kelabu itu terlewati, saya ternyata masih bisa berdiri dan menjalani aktifitas dengan relatif normal. Dulu saya pikir kehidupan tanpa orang tua itu mengerikan, katakanlah, sempitnya saja, saya akan kehilangan sumber penghasilan finansial primer, dan luasnya,, saya akan kehilangan sumber doa primer saya. Tapi tidak semenderita itu. Karena faktanya, saya memiliki sanak saudara yang begitu hebat. Dan Allah telah menetapkan rezeki saya, dari berbagai tangan.
Di luar itu semua, tidak ada gading yang tak retak. Kehidupan memang tak pernah lurus, karena Allah selalu ingin melihat hambaNya tumbuh berkembang. Perlahan saya mulai kehilangan kendali pikiran atas diri saya sendiri, mulai kehilangan mata untuk melihat diri saya sendiri, dan memaknai kepribadian saya sendiri, padahal, saya mempelajari teori kepribadian beberapa semester suntuk.
Ya, saya mulai bingung melihat tingkah laku saya yang di luar kebiasaan, yang begitu berubah-ubah, dan timbul tenggelam. Sepertinya tidak ada yang mampu menerjemahkan arti perilaku saya kecuali Tuhan. (Mungkin Malaikat Raqib Atid pun kebingungan menerka niat baik dan niat buruk saya).
Sepertinya saya mulai membangun kembali kepribadian saya. Anggaplah saya kehilangan alat pencetak, yang biasanya sebuah batu bata itu dibentuk dengan cetakan, sekarang harus membentuknya sendiri tanpa cetakan apapun. Katakanlah saya seperti batu bata itu.

Oh, kita tidak sedang membicarakan sebuah penderitaan ditinggal orang tua. Tidak, bukan itu. Saya paham masih sangat banyak orang-orang yang memiliki nasib lebih pahit dari saya. Jangan mengingatkan saya lagi tentang itu, saya sudah sangat paham, paham sekali. Saya hanya sedang mencoba membagi beberapa efek psikologis seusai cobaan terbesar dalam hidup saya ini terjadi. Itu saja, dan itu bukan penderitaan yang harus ditangisi.
Biasanya saya menjadi orang paling cerewet di rumah, dan pendia
m di luar rumah. Tapi sekarang saya tidak menemukan itu lagi. Biasanya saya mampu mengendalikan setiap emosi yang meletup-letup di pikiran saya, sekarang sering tidak begitu. Biasanya saya paham betul seperti apa orang-orang perlu saya perlakukan, tapi sekarang saya malas melakukan hal itu. Dan saya tidak tahu, apakah ini bersifat permanen, atau temporary.
Oke kita lihat saja suatu hari nanti..

i will blog again bout this theme someday, when i find the answer and the solution related to this case. see ya!

Share:

3 komentar