Mama dan Bapak

Di laptop saya sedang mengalun lagu Hanya Satu by Mocca. Ya, lagu itu tentang kerinduan seorang anak terhadap orang tuanya. Saya jadi teringat kembali pada kedua almarhum kedua orang tua saya. tanggal 23 Desember 2005, almarhum bapak menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu, saya masih masih duduk di kelas 1 SMA, dan menjadi santri di salah satu pondok pesantren terbesar di Kota Jakarta. Di usia remaja ini saya harus menerima takdir menjadi seorang yatim. Namun, ini tidak saya sesali sedikitpun. Saya tahu, saya mengerti, Allah lebih menyayangi Bapak melebihi siapapun. Saya hanya selalu sedih melihat mama yang mulai kesepian, tidur sendiri, makan sendiri, rasa sedihnya itu menyeruak ke setiap dinding paru-paru tempat saya bernafas. Mama selalu mendoakan almarhum bapak dan anak-anaknya setiap malam. Mama selalu bangun jam 3 pagi untuk melaksanakan shalat malam, sesekali saya yang menemani mama tidur di kamar, dan masih tertidur jam itu, sering mendengar tangis mama, dan rintihan doa mama kepada Allah untuk kami semuanya. Mama berjuang membiayai sekolah saya, teh dewi kuliah, dan a asep yang menjadi mesantren di Lirboyo saat itu. Mama adalah wanita terkuat yang pernah saya temukan di dunia ini.

Mama selalu menceritakan bahwa bapak adalah laki-laki yang memuliakan istrinya. Bapak tidak pernah marah, mengeluh, apalagi membentak. Bapak selalu terlihat kuat. Kebijaksanaan bapak membuat anak-anaknya begitu menghormatinya. Pesan yang selalu saya ingat dari bapak ketika saya baru masuk pesantren adalah

Kamu sekarang berada dalam ujian kehidupan mia, bukan hanya di kelas saja kamu ujian,naik kelas,dan mendapatkan ranking. Tapi di kehidupan nyata kamu tetap harus lulus ujian,dan mendapatkan ranking yang bagus di mata Allah. Jangan hanya pintar mendapat nilai di kelas, tapi yang terpenting itu adalah mendapat nilai yang baik di mata Allah. Setiap ujian itu memiliki pembelajaran, yakinlan, ada pengetahuan baru yang kamu dapatkan,jika kamu berhasil melewati ujian dengan baik.

Bapak memang tidak pernah mengeluh, pun ketika beliau menderita stroke selama 13 tahun, dan jantung koroner, bapak tidak pernah mengaduh. Bapak selalu tersenyum, mendidik kami untuk berpikiran positif. Bapak adalah sosok yang cerdas, yang begitu pintar mengambil setiap hikmah dari permasalahan yang ada. Saya pikir, orang yang bisa mengambil hikmah dan menjadi lebih baik dari setiap masalahnya, adalah orang cerdas, cerdas berpikir dan bertindak. dan bapak saya salah satu orangnya.

Lima tahun kami hidup tanpa kehadiran bapak, mama berusaha kuat. Mengurus pesantren, membiayai saya kuliah, dan menahan rasa sakit yang dideritanya. Mama selalu berusaha menunjukkan bahwa dia sanggup melewati semuanya. Mama memiliki kebiasaan memberi yang begitu hebat. Mama sangat dermawan. Mama tidak bekerja, mama sudah terlalu tua untuk melakukan bisnis. Tapi rezeki selalu datang untuk mama. Mama selalu ingin memberikan yang terbaik untuk orang lain. Mama pernah berkata

Rezeki tidak bisa dihitung dengan matematika, rezeki ada dalam setiap hal yang kamu berikan untuk orang lain dengan tulus. Jangan mengharap imbalan, tuluslah dalam memberi, maka kamu akan menerima yang hal yang jauh lebih besar dari apa yang kamu berikan

Begitulah mama mengajarkan kami untuk tulus berbagi. Berbagi materi, kebahagiaan, dan rasa syukur. Dan tepat tgl 12 April 2011, beberapa bulan yang lalu, mama menghembuskan nafas terakhirnya. Mama wanitaku terhebat akhirnya dipanggil Allah. Allah mengakhiri rasa sakitnya akibat serang jantung, infeksi lambung, diabetes, dan infeksi paru. Komplikasi yang hebat, yang ternyata rasa sakitnya ditahan mama dalam waktu yang lama. Mama pergi dengan tenang setelah 5 hari dirawat di rumah sakit, dan selama 5 hari itu mama tidak pernah berhenti dikunjungi oleh semua orang yang mengenalnya. Mama adalah sosok yang disayangi banyak orang.

Sampai detik ini, saya selalu menangis jika ingat mama. Bukan, bukan karena saya tidak ridho, bukan. Saya hanya rindu, rindu pada almarhum yang begitu menyayangi saya, dan merawat saya dengan baik. Saya tidak usah menguraikan betapa besar jasa seorang ibu, semua orang merasakannya. Tapi semua lebih terasa jik
a kita sudah tidak bisa lagi melihatnya,

Sedih, memang sedih. Menjadi yatim piatu di usia 21 tahun, satu satunya yatim piatu di jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan angkatan 2008. Tapi tidak usah didramatisir, karena saya tahu, lebbbbihhh banyak yang menderita dari saya. Menjadi yatim piatu tidak boleh dijadikan alasan untuk menjadi lemah, cengeng, atau rendah diri. Justru mungkin ini cara Allah mengingatkan saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Ma, Pa, Dulu mama dan bapak selalu mendoakan mia,
meski mia sangat kehilangan doa itu, Mia sadar,
sekarang saatnya mia yang mendoakan mama dan bapak di setiap sujud malam..
saatnya mia menunjukkan bahwa mia masih bisa menjadi anak berbakti pada mama dan bapak, meski sudah berlainan ruang dan waktu......


with love,
silmia.

Share:

4 komentar