Another story from me.
tulisan adalah tempatku berbicara ketika banyak kata yang tak dapat didengar. berharap suatu hari nanti orang-orang akan mengerti isi kepalaku yang berantakan.
Bagaimana kuungkapkan rasa kalut, ketika aku merasa tak ada telinga yang kupercaya? ekspekstasiku terhadap pendengar terlalu besar, sehingga aku takut kecewa ketika ada orang yang harus diperdengarkan ceritaku tapi tak benar-benar paham perasaanku, kalutku, dan bingkai kehidupanku yang sebenarnya.
Masalahku sederhana, tak seperti raungan tangis di kolong jembatan Jakarta, tak sebengis pisau tajam yang berdarahkan manusia. Tak serumit itu. Mungkin saja otakku yang merasa sendiri, mempersulit setiap kata yang ingin kukatakan. Atau mungkin karena aku tak suka disepelekan, seperti aku sering menyepelakan orang lain.
Lalu bagaimana kumulai cerita, yang sebenarnya biasa-biasa saja?
Aku hanya seorang yatim piatu, yang masih memiliki keluarga besar, sangat besar. Kakakku sembilan, semuanya sudah menikah dan memiliki penghasilan pribadi. Orang tuaku, almarhum dan almarhumah adalah keturunan kyai ternama pada masanya, sehingga mereka membesarkan sebuah pesantren yang cukup dikenal di daerah Subang.
Aku seperti halnya anak kyai lainnya diharapkan membantu ketiga kakak laki-lakiku untuk membangun pesantren. aku menjadi santri selama 4 tahun di salah satu pesantren terbesar di kota Jakarta, dengan harapan bekal ilmu agamaku cukup untuk membantu keluarga mengembangkan pesantren. Bapakku meninggal ketika usiaku 16 tahun, dan mamaku meninggal di usiaku yang ke-20. Andaikan saja aku bisa menata pikiran dan hati, agar kuat sebagaimana harapan Tuhan terhadapku, semua bukan hal yang sulit.
Tapi lain hal nya, jika aku merasa terpaksa. Karena keikhlasan adalah hal paling berharga di dunia ini, mahal sekali. Selama bertahun-tahun, aku tak pernah menjadi anak yang pembangkang, apapun kulakukan jika itu membuat keluargaku bahagia. Keluarga bukan saja menjadi mutiara dalam hidupku, tapi jantung! jantung pusat kehidupanku. Aku melakukan itu karena semua kakak laki-lakiku melakukannya. Mereka semua mengabdi pada pesantren, mengabdikan seluruh ilmunya, bahkan seluruh hidupnya untuk pesantren. Tinggal di pesantren, berkeluarga, semuanya. Tapi mereka laki-laki. Aku tidak bisa sepenuhnya seperti itu, karena aku tidak memiliki cita-cita memiliki suami yang tinggal di pesantrenku, Tidak.
Aku bukan Anna di film Ketika Cinta Bertasbih yang lulusan S2 Al Azhar, mengajukan syarat pernikahan untuk membiarkannya tinggal di pesantrennya seumur hidup. Aku bukan Anna. Aku tidak sesholehah itu. Aku mencintai agama dan keluargaku lebih dari apapun di dunia ini, tapi kumohon, aku hanya sedang proses mengikhlaskan diri menerima takdirku. Menerima aku akan bimbang ketika ingin ikut suami tinggal di manapun, padahal menjadi istri sholehah yang ikut kemanapun suami pergi, mengabdi pada suami, adalah cita-citaku. Tapi itu menjadi teka-teki, aku tak tahu apa yang bisa aku putuskan kelak.
Bertahun-tahun, di usia yang masih terlalu muda, aku sudah dibiasakan mengambil keputusan yang besar. Namun ternyata aku bosan juga, aku bosan mendengar kata "terserah" tapi dengan mata memelas bahkan memaksa. Hidup itu pilihan, tapi manusia yang adil dengan seluruh pilihan itu hampir tak ada. Karena resiko bagiku itu pasti, tapi membahagiakan keluarga itu satu satunya jalan yang bisa kupilih.
Cerita ini masih bersambung, aku tak bisa meluapkan semuanya sekaligus. aku tahu mungkin tak ada gunanya aku menulis ini, tapi setidaknya hatiku terasa lebih baik sekarang. Semoga Allah selalu memberkati semua, Semoga kita bsia menjadi apa yang Allah harapkan bisa kita lakukan. Sekarang, ataupun nanti.
3 komentar