Menghemat Kesenangan

Kesenangan  dan kebahagiaan itu -entah kenapa- memang dibuat oleh pikiran kita sendiri. Tapi kekuatan untuk mengontrol, when it happens itu susah sekali. Semua orang bisa bilang, kita bisa senang dan sedih kapanpun kita mau, hanya bagaimana kita merespon kejadian yang terjadi pada kita setiap harinya, tapi ternyata memang tidak semudah itu. Karena, -look at your self- kita tetap sering senang dan sedih silih berganti kan? dan meski kita bisa memperlihatkan ke semua orang kita bisa ceria dan senang selalu, tapi kita pernah kan sedih sendirian biar gak ada orang yang tahu? 


from google
Yang pengen aku uraikan di sini, adalah tentang kebahagiaan itu bagi aku juga punya kuantitas yang bisa kita atur sendiri. Ini aku sadari ketika suatu hari, my boyf ( yang memang tidak hedonis ) di tengah perjalanan kita pulang dari toko buku, tanpa aku minta dan tanpa berbicara apa-apa, memberhentikan motornya di depan cizz cake laswi. Aku sering banget bilang sama dia, kalau aku suka banget cizz cake ini. Dan sesering itu pula my boyf gak pernah membelikanku barang sebiji. Dia juga sangat jarang membelikanku benda-benda lain atau makanan yang memang bersifat tertier. He always does the rules. Balik lagi, aku kaget, karena memang dia tidak bilang sebelumnya akan berhenti di tempat cizz cake lezat ini. Tiba-tiba dia ngomong "ini surprise sih sebenernya, meski mungkin ini hal yang  biasa bagi kamu, tapi kali ini aku pengen beliin kamu cizz cake, kita makan berdua di sini (untuk waktu yang sangat jarang terjadi), kamu seneng gak?aku pengen banget bisa bikin kamu seneng".


Aku, sebenarnya memang mampu-mampu aja membeli cizz cake itu -yah minimal sebulan sekali masa iya gak bisa menyisihkan uang 17rb- tapi entah kenapa, aku memang jarang membeli cake beginian meski aku suka banget. Tapi kali ini, karena jarangnya aku makan cake ini, dan jarangnya my boyf membelikanku makanan-makanan selain makanan pokok untuk bertahan hidup, ini sesuatu yang aku bilang MEMBAHAGIAKAN. sederhana? Gak sesederhana itu, bahagia itu memiliki proses yang panjang dalam pikiran kita, dan bagi aku, bahagia ini tak sesederhana itu.

Prosesnya?

Pelajaran yang aku ambil dari situ dan seterusnya dalam hidupku, ada kalanya kita harus menghemat kesenangan yang kita miliki. Let see, kalau misalnya aku makan cizz cake (kesenanganku) itu setiap hari, yah setiap minggulah, kemudian my boyf pun sering membelikanku hal-hal tertier (atau ga penting?) hampir setiap hari, MUNGKIN aku gak akan sesenang itu kan dikasih surprise makan cizz cake berdua di siang bolong? Gak akan. Itu akan menjadi hal yang BIASA aja. 

ini yang gue pesen waktu itu

Ini berequivalen dengan kehidupan para hedonis di Bandung yang mungkin nongkrong di kafe mahal itu biasa, makan makanan itu biasa, beli baju mahal itu biasa, beli gadget baru biasa,nyalon atau ke spa itu biasa, semua kesenangan itu biasa. Ah, aku rasa mereka akan susah mencari "kebahagiaan" yang benar-benar berbeda. I mean, jika ada tiga level kebahagiaan  A-Z , orang hedonis gak akan cukup sampai level D, E, F, mereka tidak akan bahagia di level itu, mereka akan terus mencari level yang tinggi, terus dan terus dan terus dan terus sampai level tertinggi. Sedih gak sih menjadi orang yang sulit bahagia? sedih gak sih menjadi orang yang selalu merasa kurang? Back to surat Arrahman, kata Allah juga "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?"


Bukan, bukan berarti aku melarang kamu-kamu semua untuk memanjakan diri dengan hal-hal seperti itu. Itu hak kalian semua, its your life, your decision, and i'm not an angel anyway. Boleh banget kok kita makan makanan kesukaan, makan enak, beli baju mahal, beli barang mahal, or other kind of hedonism. Boleh banget sebanget-bangetnya. Gak ada peraturan pemerintah yang melarang. Tapi mungkin, sepertinya, jangan sering-sering kali ya ? Yang aku taruh di judul itu "Menghemat kesenangan" ko buka "menghilangkan kesenangan". Jadi ya kita atur kuantitas dan kualitas kebahagiaan kita, dan iringi dengan syukur yang besar di dalamnya. Eh, aku punya cerita satu lg. Jangan dulu bete, please, ini seru.

Suatu hari ada satu orang miskin dan satu orang kaya. Tiba-tiba keduanya harus bertukar tempat karena ternyata mereka adalah anak yang tertukar (sinetron banget gak sih?, tapi ini hikayat Arab lho) . Tapi guess what. Orang miskin itu menolak dengan tegas untuk memiliki semua harta benda yang serharusnya dia dapatkan. Because what? (ala-ala juri Indonesian Idol yang botak itu ya gue ngomong), orang miskin itu bilang "Mensyukuri hal yang sedikit saja, badan yang sehat, tempat tinggal yang aman, dan semuanya secara rinci,waktuku tak pernah cukup, bagaimana cukup waktuku untuk mensyukuri semua harta benda lain yang megah itu?"

tamat.

(jadi serunya di sebelah mana?)

Oke, ini tulisan udah kepanjangan.

Well, mungkin sebagian dari kamu udah mengartikan sendiri arti hikayat itu dan tulisan aku sebelumnya. Antara kesenangan kita, dan kewajiban kita untuk mensyukurinya, di tengah-tengah itu ada kita, Sang Pengelola (Manager, Direktur, GM or whatever) yang diberi akal untuk berpikir,berpikir,berpikir, how to make it deal. Kita benar-benar diberi kemudinya sama allah.  Dan kamu semua udah tahu lah ya, bagaimana wajibnya bersyukur. Yang pengen aku sampaikan (semoga sampai yah maksudnya) hanyalah, adakalanya kita harus menghemat kesenangan yang kita miliki. Karena itu bisa menjadi satu dari banyak cara lain yang bisa membuat kuantitas dan kualitas kebahagiaan kita terjaga. Jangan sampai kita menjadi orang yang susah bahagia (hiiiy, no thanks, naudzubilah), jangan sampai kita menjadi orang susah merasa cukup. well i told u before, i'm not an angel anyway, and never be an angel in this world, so i do mistake i did mistake, and maybe i will do mistake. and mmm.. ini cuma apa yang ada di otak dan ingin aku sebarkan. Bukan berarti aku juga sudah bisa menghemat kesenanganku, belum. Bareng-bareng aja lah ya. 

Oke, thank u for reading. (Semoga maksud yang ada di otak gue tersampaikan dengan baik karena gue yakin ini mengandung pro kontra dari para readers). Tapi yang penting, kita sama-sama belajar. ^_^ semangat!




with love,
Silmia. 

Share:

2 komentar