How do We Assess, How Happy We Are?


Akan ada banyak bantahan ketika ada pernyataan bahwa kebahagiaan itu bisa diukur. Saya pun begitu awalnya. Apalagi banyak selebaran quotes yang ditemukan di twitter, path, atau instagram yang selalu mengatakan bahwa kebahagiaan itu hanyalah pilihan. Salah satunya kutipan dari Fawn Weaver yang cukup terkenal, “Happily ever after is not a fairytale, it’s a choice”.

Katanya, kamu bisa bahagia atau tidak tergantung kamu menyikapi apa yang kamu hadapi.
Is that true? Lalu apakah meski kita hidup di neraka pun kita masih punya pilihan untuk bahagia atau tidak? Maksud saya, apa kita masih bisa memilih untuk bahagia meskipun kita ditempatkan di tempat paling buruk sekalipun? Atau sederhananya, kalau bahagia itu pilihan, kenapa faktanya kita tidak bisa merasa bahagia setiap hari?

Saking penasarannya, saya pun mencari teori psikologi yang berhubungan dengan ini dan akhirnya menemukan jurnal karya Ruut Veenhoven yang berjudul How do We Assess How Happy We Are?
Ternyata ada tiga teori besar yang membahas ini. Boleh dipercaya atau tidak, tapi izinkan saya membahas satu persatu di sini.

Set Point Theory
Teori ini mungkin yang paling sering dijadikan quotes di media sosial. Tidak ada masalah dengan apa yang menyebabkan kita bahagia. Karena bahagia itu pilihan seperti, kita memilih mau suka cokelat atau tidak, mau suka rambut pirang atau rambut gelap.

Teori ini memandang kebahagiaan seperti itu. Apapun yang kita terima dan hadapi, semuanya pilihan untuk bahagia. Kamu bisa berbahagia meski di tempat terburuk sekalipun. Karena pada intinya adalah how well we thrive. Seberapa baikkah tumbuh kembang kita, seberapa banyakkah hal positif yang kita lakukan, seberapa banyakkah  kebaikan yang kita lakukan untuk orang lain. Itu saja. Mengukur bahagia atau tidak? It’s just a matter of choice.

 Comparison Theory
Ya, dengan yakin teori ini mengatakan bahwa ada standar tertentu yang membuat kita bahagia. Misalnya saya cukup bahagia kalau dapat ranking 3 di kelas, tapi akan sangat bahagia kalau mendapat ranking pertama. Teori ini sangat mengedepankan ketajaman analisis manusia dalam menentukan how life should be.

Contoh lain, pernahkah kamu menemukan orang yang mudah untuk dipuaskan meski banyak kekurangan? Atau menemukan orang yang sangat perfeksionis sehingga segala sesuatunya harus sempurna, baru dia bisa dipuaskan? Apakah ada perbedaan standar kebahagiaan pada orang-orang itu? Teori inilah yang mengangkat fenomena tersebut. Jadi kebahagiaan menurut teori ini dapat dilihat dari pencapaian target seseorang.


  Affective Theory
Sering merasa moody? Teori ini yang membahas masalah itu. Katanya kebahagiaan itu tergantung emosi kita. Nah, apa yang menyebabkan emosi kita bagus atau buruk? Di sini disebut istilah need-gratification yaitu tahapan-tahapan kebutuhan alami manusia yang harus terpenuhi. Manusia bisa berada dalam keadaan bad mood ketika ada kebutuhannya yang belum terpenuhi. Misalnya kalau lagi laper, bawaannya galak atau lemes, berarti kebutuhan biologisnya belum terpenuhi. Atau sering kita merasa bad mood karena kesel sama orang, berarti kebutuhan untuk diperlakukan dengan baik oleh orang lain, belum terpenuhi.

Teori ini meyakini bahwa kebahagiaan itu bukan tentang kalkulasi, tapi tentang kesimpulan. Jika kebutuhan seseorang terpenuhi, dia akan merasa senang dengan sendirinya, tanpa harus dihitung-hitung. Menurut jurnal Vanhooven, teori ini paling masuk akal karena membicarakan inti dari sumber kebahagiaan seseorang, yaitu kebutuhannya. Kebutuhan setiap orang pasti berbeda, setiap orang pun memiliki kebutuhan yang berbeda-beda.

You got it, guys? Rumit juga ya membicarakan kebahagiaan. Tapi itu hanya teori pengukuran kebahagiaan menurut psikologi secara umum. Mungkin kita akan menyetujui poin yang berbeda-beda. Its okay. Just pick up your way to be happy. Pilih saja sesukamu. Pada intinya, kebahagiaan atau kesedihan itu memang diciptakan berpasangan. Wajar saja jika kita merasakan keduanya, asalkan nggak larut dalam kesedihan. Karena yang perlu diingat sebagai muslim, hanya satu :

Laa tahzan Innallaha ma’anaa
Jangan sedih sesungguhnya Allah bersama kita

Ya, apapun teori kebahagiaan itu, apapun cara pengukurannya, Allah hanya menjanjikan satu kata, kita bersama-Nya, apapun kodisi kita. What a great vow!

Well, demikian sudut pandang saya tentang kebahagiaan, dan pemahaman saya tentang jurnal Vanhooven. Jika ternyata pemahaman saya salah, mohon direvisi ya. Thanks to keep reading!



Happy -Pharrel Williams

Tulisan ini diikutsertakan pada Blog Competition Hijab Day 2014 yang diselenggarakan oleh Hijabers Community Jakarta . Puncak acara Hijab Day 2014 diadakan tanggal 27 April 2014 di Gandaria City. 

sumber : Vanhoove, Ruut. How do We Asses, How Happy We Are. (2006). Paper presented at conference on ‘New Directions in the Study of Happiness: United States and International Perspectives’, University of Notre Dame, USA, October 22-24 2006

Share:

0 komentar