Dua Poin di Dua Minggu Pertama Ramadhan
Sudah dua minggu Ramadhan berlalu. Ramadhan tahun ini terasa sangat berbeda. Ini kali pertama sayamenjalani Ramadhan sebagai seorang jurnalis. Diundang ke banyak event untuk berbuka puasa. E vent-nya pun bukan event biasa, acara berbuka puasa di beberapa hotel berbintang di Jakarta, atau resto-resto - yang jika saya harus makan di sana menggunakan uang sendiri, saya tak akan mampu.
Saya sangat bersyukur. Benar adanya, kalau rezeki dan gaji itu berbeda. Jika dihitung, apa yang saya dapatkan mungkin saja jauh di luar gaji saja. Saya merasa itu sebagai kasih sayang Allah, dan berkah Ramadhan. Saya sengaja mengkonfirmasi semua undangan itu (awalnya). Bukan karena semata-mata ingin makan gratis. Saya hanya tidak mau berbuka puasa sendiri di kamar kos.
Hanya butuh satu minggu penuh. Saya mulai berpikir banyak. Kenapa, semua makanan enak yang pernah saya nikmati itu tak pernah ada yang berkesan? Semua tempat mewah ini, tak ada yang "ngangenin". Saya malah lebih rindu pada masakan rumah. Atmosfer keluarga yang hangat, terutama suasana rumah dimana isinya ada almarhum mama dan bapa yang dulu selalu hectic dan heboh kalau masak untuk buka puasa. Padahal menu buka di rumah sangat sederhana. Gorengan panas dengan cabe rawit, teh panas di gelas bening, dan lauk pauk seadanya.
Maka ditemukanlah poin pertama
Ternyata semewah apapun makanan yang dimakan, tempat yang disambangi, atau sekeren apapun orang orang yang ditemui (dalam event event itu selalu saja ada artis atau orang hebat yang saya temui), belum tentu bisa membuat seseorang bahagia. Bahwa mungkin, bagi saya, keluarga tetap menjadi sumber kebahagiaan. Bahwa kemewahan itu bukan segalanya.
Poin kedua?
Bukan sombong. Tapi dengan banyak mencicipi makanan enak setahun terakhir ini, standar makanan saya jadi berbeda. Event di hotel berbintang, review resto berkelas, dan obrolan-obrolan teman tentang makanan berkualitas membawa banyak informasi baru tentang makanan. Katakanlah taraf hidup saya sudah berubah. Jika saya awalnya menganggap Waroeng Steak itu sudah mewah, kemudian menganggap Suich Bucher itu enak banget, kemudian ABUBA dan Holy Cowl ternyata lebih enak, kemudian mengganggap kalau makan steak terenak itu harus di hotel berbintang. Terus meningkat.
Tapi apa?
Hal yang tak boleh terjadi adalah, saya jadi menyepelekan makanan yang saya anggap tidak enak (lagi).
TIDAK
Meski saya tahu standar enak steak itu bukan lagi Waroeng Steak, tapi saya masih sering merindukan steak berdaging tipis dan bertepung tebal itu. Meski ice cream green tea di Kempinski Hotel, atau Haa-Gen Dazs itu adalah standar ice cream yang baik, saya tetap menikmati es podeng di pinggir jalan atau Ice Cream Popular milik Walls.
No Matter how high you climb something.. how many things you have known
Just stay humble
Saya merasa perlu dan selalu perlu menghargai hal-hal kecil yang biasanya saya nikmati. Meski rasanya sudah tak selezat dulu lagi. Atau mungkin saya kurang suka, tapi bukan berarti boleh saya sepelekan. Tidak.
Ya, dua poin di pertengahan Ramadhan yang bisa saya share di sini. Mungkin pemikiran saya ini mengundang konfrontasi atau apapun. But its just sharing anyway. Semoga dua minggu terakhir Ramadhan ini bisa kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Love you all as always, readers.
Tags:
Mind of Mine
0 komentar