Gunung Bromo: Beauty is Pain



Judulnya kok gitu?
Saya bukan pendaki gunung. Menuju penanjakan kedua gunung Bromo ini memberikan sensasi baru bagi saya: naik gunung itu susah men, butuh perjuangan, tapi hasilnya, liat deh keren banget! Padahal ini bukan naik gunung beneran, cuma berjalan kaki sedikit ke atas, ditambah naik 300 anak tangga. Tapi karena dilakukan tanpa persiapan olahraga sebelumnya, ditambah harus berjalan sebelum subuh di mana malam sebelumnya kurang tidur, sensasinya lumayan berat.

How to get there? Saya dan teman-teman (Cahya, Ririn, Cindy, Citra Ayu, Hanani, Isti) menyewa sebuah mobil jip dengan harga Rp1.200.000. Harga ini agak mahal karena kita dijemput langsung di penginapan kita. Oya, selama di Malang kita menyewa rumah di daerah Suhat, dengan biaya 500ribu/malam. Rumahnya lumayan luas, kamarnya ada tiga, kamar mandi 1, ada dapur dan mesin cuci. Cukup menampung 7 orang perempuan males beres beres, kecuali Cindy.


Kita berangkat jam 01.30 dini hari dan sampai di pos paling akhir jam 04.00. Perjalanan cukup menegangkan karena gelap gulita. Mobil jip ini sebenarnya hanya menampung 6 orang. Tapi kita ber-7 ditambah Potopoy (Guide kita selama di Malang, perwakilan dari IKPDN Malang). Namanya Potopoy? Iya, jangan tanya nama aslinya, kita semua juga bertanya-tanya dan tidak menemukan jawaban.

Jadilah mobil jip ini penuhhh sesak oleh wanita-wanita rumpi ini. But, never mind. Semakin sesak semakin kita merasa hangat karena cuaca di luar super dingin.

Perjalanan yang paling mengerikan adalah ketika kita melewati padang pasir atau sering disebut-sebut sebagai tempat pasir berbisik. Saat itu sang supir menyalakan lagu keras-keras, agar kita semua enjoy. Dia harus berkonsentrasi penuh, dan tidak bisa kita tanya sedikitpun. Jika tidak fokus, sang supir akan kesulitan menyebrangi padang pasir yang tak kelihatan ujungnya. Tapiiii....musik yang dia nyalakan hanya satu lagu: Lagu Sampson yang berjudul Kenangan Terindah. Ituuu terus yang diputer selama perjalanan. Alhasil, si cahya dari yang awalnya menikmati lagu sambil nyanyi-nyanyi, sampai mual dan minta lagu itu dihentikan saat itu juga.

Tapi, alhamdulillah, sang supir tidak terusik oleh ketakutan kita.

Sampailah kita di pos terakhir penanjakan kedua. Jika biasanya orang-orang melihat bromo dari penanjakan pertama, maka tempat ini cukup berbeda. Kita harus berjalan naik ke atas. Tanjakannya sangat curam, dan gelap. Untung Potopoy membawa senter. Selama perjalanan kita ditawari jasa naik kuda dengan harga Rp100.000 bolak balik. C'moon...mahal banget kan? Lagipula kasian kudanya sih.  Sebagian dari kita akhirnya menyerah naik kuda karena perjalanan yang cukup melelahkan.

Ternyata, berjalan ke atas tidak terlalu jauh. Jadi mereka yang memilih naik kuda, tampaknya menyesal. Haha. Kita berkumpul lagi di bawah anak tangga pertama. Kita bersama-sama naik tangga menuju puncak penanjakan kedua.

Hasilnya, subhanallah banget. Kita melihat langsung indahnya warna langit saat matahari terbit.
Gunung bromo juga indaaahh banget dikelilingi awan yang tampak empuk. Rasanya tak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kekaguman kami saat itu. Subhanallah.

Cindy Cenora, antrian pertama untuk foto berlatar langit sunrise.

Versi siluet ala-ala. Sukaaa banget sama foto ini. Oh ya, inframe: Hanani Marha

too shy to show my face
pasangan bule ini...lebih cocok buat inframe daripada muka gue

Oke, setelah puas berfoto-foto kami turun gunung. Saat turun gunung kita baru sadar banyak bunga rumput yang cantik!


Cahya dinobatkan sebagai pemilik selfie terbanyak selama liburan

turun gunung juga butuh tenaga


Destinasi berikutnya adalah pasir berbisik. Karena kami adalah anak Jakarta yang jarang lihat pasir macem gini, tentunya jadi terlalu excited untuk foto sana sini.

difotoin pak supir dan nge-blur, kami maafkan pak.



Mi, fotoin swing swing ala DP dong. Oh my, sorry rin, failed.


alhasil,
ketika di bukit teletubbies, kita mulai kelelahan dan habis tenaga untuk berfoto-foto. Tapi it's okay. Dengan menikmati semua keindahan disana saja sudah lebih dari cukup buat saya. Hanani dan Cea menyewa kuda jalan-jalan ke bagian dalam bukit, harganya Rp50.000. Mereka memilih kuda putih biar lebih romantis.
Bonusnya, di bukit ini, ada yang jualan bakso. Maka...kita pun eating bakso with a view, rarely moment ya kan?





Sekitar jam 10 kami pun beranjak pulang kembali ke penginapan. Perjalanan pulang terasa sangat panjang dan panas. Saran saya, kamu memakai jaket double saat ke sini. Jadi, ketika hari mulai terik, kamu bisa melepas salah satu jaket kamu tapi tetap terjaga dari angin yang lumayan besar.

Ide busana yang dipakai?
Hmmm...waktu persiapan berangkat, saya tidak benar-benar ingin berdandan atau bergaya. Kan mau naik gunung, saya pikir waktu itu. Tapi ternyata tidak serebel itu kok. Kamu masih bisa memilih sweater tebal dengan aksesoris seperti syal dan topi kupluk macem si Cahya dan Ririn pakai ini. Kamu juga bisa bermain warna terang, agar tampak kontras saat difoto berlatar gunung, pasir, dan pegunungan.



Terakhir, kita foto-foto bareng Potopoy yang lebih mirip juragan minyak bersama selir-selirnya. Thank you semuanyaaa... Memang benar kata pepatah, bukan hanya tentang kemana saja kita berkelana, tapi sama siapa. And this group, made my dayyss!! 



Share:

2 komentar