Fenomena 'Reporter Dadakan'
Kita ada di era, semua orang bisa menjadi media. Tentu saja
dibantu dengan penemuan canggih bernama social media. Dulu, untuk tahu kabar
dunia saya harus menunggu pengantar koran setiap pagi atau menunggu jam-jam
berita tayang di TV. Sekarang, tak harus menunggu media besar itu untuk tahu
apa yang sedang terjadi, cukup melihat apa yang sedang banyak di-post oleh
teman-teman saja sudah cukup mewakili.
Suatu hari, di malam minggu yang santai, sepupu saya
mengirimkan gambar orang bunuh diri di grup WA keluarga. Mengerikan sekali,
bunuh dirinya gantung diri (lengkap dengan lidah menjulur dan berwarna ungu,
ewh). Duh, kalau saya menuruti kemauan saya, ingin rasanya langsung delete dan
melupakan hal itu. Saya tidak mau tahu.
Tapi, ya karena saya berkerja di sebuah kantor berita
online, tentu saja langsung saya sampaikan ke grup kantor. Kejadian tersebut
pun tak lama kemudian tayang di website kantor saya.
Kejadian ini bukan sekali terjadi, beberapa kali teman-teman
kantor saya mendapat pengalaman serupa. Ya, berita di media besar sekarang
sudah banyak disokong oleh reporter dadakan seperti itu. Tak harus menunggu koran terbit, karena
berita sudah muncul hanya dalam hitungan menit. Canggih sekali.
Perusahaan media makin banyak tumbuh di Indonesia. Tapi tak
sedikit juga yang gulung tikar. Biasanya yang gulung tikar itu yang masih
mengandalkan alat konvensional (atau ya mungkin sudah takdirnya saja ya). Menurut pemikiran awam saya, pertumbuhan
media online ini sangat dipengaruhi oleh fenomena ‘reporter dadakan’ itu.
Sebut saja Lambe Turah dengan ‘hengpong jadul cekrak-cekrek’.
Siapa sih yang tidak tahu akun ini? Follow ataupun tidak, pengguna social media
pasti tahu bawah akun ini menyebar berita gosip. Bahkan tak jarang media besar
mengambil sumber dari Lambe Turah.
Melalui social media, semua konten begitu mudah
disebar-luaskan. Semua bisa jadi reporter dadakan yang mengandalkan hengpong
dan internet tentunya (hengpong jadul nggak ada internetnya sih agak diragukan ya
fungsinya, LOL).
Tak perlu membuat akun seperti Lambe Turah. Cuitan di
twitter, status di facebook, dan foto di Instagram milik teman-teman sudah bisa
memberikan berita untuk kita. Semua bisa
jadi reporter dadakan.
Saya sebenarnya tidak mau mengangkat apa sih hal positif,
apa sih hal negatifnya? Saya merasa bukan ahli media yang memiliki kapasitas
untuk membahas itu. Bagi pemahaman awam saya tentu hal ini punya sisi yang
berbeda.
‘Reporter dadakan’ tentu sangat membantu media besar untuk
mengumpulkan sumber informasi. Kejadian bunuh diri di kampung halaman saya bisa
langsung disampaikan cepat ke kantor tempat saya bekerja di Jakarta, dalam
hitungan 1 menit saja. Yass,,1 menit saja.
Di sisi mata pisau lainnya, reporter dadakan tidak dibekali
banyak ilmu tentang kode etik penyiaran. Mereka dengan mudahnya mem-broadcast
foto lidah menjulur korban bunuh diri itu ke mana saja, lewat apa saja.
Masih ingat kejadian bom di Kampung Melayu? Potongan tangan,
kaki, bahkan kepala tersebar di seluruh ruang chat WA, Facebook, dan Instagram. Ya Tuhan, kalau saya
boleh memilih, saya benar-benar tidak mau melihatnya. Tapi apa daya, semua
social media yang saya gunakan menampilkan foto-foto tersebut dengan mudahnya.
Kita tidak pernah tahu apa dampak menyebarnya foto-foto
tersebut. Mungkin kecemasan mungkin juga jadi inspirasi orang-orang yang tidak
waras untuk melakukan hal serupa. Kita tidak pernah tahu ada orang yang sedang
depresi, melihat orang lain bunuh diri, jadi pengen ikut-ikutan. Ya kan?
Menjadi ‘reporter dadakan’ menurut saya tak salah. Malah kantor
saya sangat terbantu, tapi sepertinya kita harus lebih bijak saat menekan
tombol ‘share’ di social media. Apakah berita itu benar atau hoax? Apakah berita
itu baik jika disebarkan? Adakah foto yang harus diblur?
Sebaiknya kita tak jadi warga yang spontan dalam hal ini. Menyampaikan
sesuatu yang bemanfaat tentu baik, tapi alangkah lebih baik jika kita lebih
banyak membaca terlebih dahulu sebelum sharing info tertentu.
Isu ini memang bukan isu baru. Tapi masih saja terjadi dan
terjadi lagi di ruang social media saya. Well, mewakili kantor tempat saya bekerja,
saya sangat mengapresiasi orang-orang yang mau mendokumentasikan kejadian
penting di sekitarnya. I really appreciate ‘reporter dadakan’. Jujur, ini
membantu banyak. Tapi semoga reportasenya tidak sembarangan ya. Laporkan kepada
yang berwajib, atau langsung ke media besar itu akan sangat membantu. :)
Photo: unsplash.com
Tags:
Mind of Mine
1 komentar