Hijab Brand Berubah jadi Modest Fashion Brand, Yay or Nay?





Setiap inovasi pasti punya arti. Begitupun dengan inovasi bisnis. Tapi jika sudah bersinggungan dengan agama, bolehkah kita kompromi?

Pergerakan fashion hijab di Indonesia bisa dibilang seperti roller coaster. Tahun 2010, Hijabers Community berhasil 'mengebom' Indonesia dengan tren hijab yang baru. Dicetuskan oleh beberapa wanita cantik berkerudung dari ragam profesi, nama-namanya tentu saja kita kenal; Dian Pelangi, Ria Miranda, Fifi Alvianto, Jenahara Nasution, dan masih banyak lagi.

Di suatu video yang muncul saat pemotretan komunitas ini untuk yang pertama kalinya, masih terngiang di benak saya sang ketua, Jenahara berkata,


"Banyak orang yang bilang kalau hijab itu gayanya cuma itu-itu saja, padahal banyak lho."

Secara tak langsung mengungkap bahwa melalui komunitas ini, mereka akan menunjukkan gaya hijab yang lain dari biasanya. Lebih kreatif, inovatif.
 
'Bom' yang diledakan komunitas tersebut benar-benar berdampak pada fashion industry di Indonesia. Semua ramai membuat brand hijab. Banyak 'desainer dadakan'. Segala macam tren kerudung silih berganti, dari warna pelangi, pastel, monokrom, macam-macam. Pertumbuhannya pun tak hanya tentang 'fashion designer' tapi juga pelaku bisnis lainnya seperti retail, e-commerce, modeling, dan kosmetik. Semua mengatasnamakan hijabers.

Setelah mencapai puncak di tahun 2013-2014, satu persatu desainer muslim mulai melanglang buana di panggung runaway luar negeri. Kalau Dian Pelangi jangan ditanya lah ya, tapi koleksi Restu Anggraini di MBFW Tokyo 2015 begitu memukau publik. Tak banyak menyangka, 'busana muslim' dengan bahan 'anyaman' bisa begitu menyatu dengan budaya Jepang, dan bisa sebegitu kerennya.

Di perjalanan ini, bisa dibilang mereka pun mulai menemukan DNA masing-masing. Meski, trend is trend, business is business, saya pribadi melihat mereka semakin fokus dengan pasar masing-masing. Sebut saja brand Ria Miranda yang fokus dengan warna pastelnya, ia berhasil membentuk 'RMLC' atau Riamiranda loyal customer. Isinya wanita berhijab yang didominasi ibu-ibu cantik.

Lain lagi, kita bisa lihat Jenahara dengan gaya edgy-nya dan Rani Hatta dengan gaya swag-nya, mulai menemukan kenyataan bahwa koleksinya ternyata tak hanya disukai wanita berhijab. Mereka pun memutuskan untuk 'beralih' dari hijab brand menjadi modest fashion brand. Para model yang terpampang di katalog social media mereka sudah tak semuanya pakai jilbab.

Tak salah. Semua kembali pada DNA brand mereka, pada strategi bisnis mereka. Tapi kalau saya ingat bagaimana mereka memulai bisnis ini dari secarik kerudung yang mereka pakai, saya sebenarnya agak bingung.

Jikasaja dari awal, yang digaungkan oleh para brand ini adalah 'modest fashion' atau dari awal memang tak mengangkat hijab sebagai 'jualannya'. Tak apa. Tapi, setelah ada perubahan model yang tadinya berhijab jadi tidak. Tentu saja akan ada selentingan orang berbicara tidak enak.

Secara pribadi, saya sangat suka kreatifitas merek-merek yang telah melakukan revolusi ini. Saya pribadi justru tidak terlalu suka gaya hijab yang terlalu 'on trend' dan Rani Hatta adalah salah satu brand yang paling gigih menunjukkan gayanya sendiri. Ia teguh dengan karakternya, meski digempur tren yang datang silih berganti.

Rani Hatta dan Jenahara pun adalah contoh dari keberhasilan brand fashion modest yang berhasil diterima oleh kalangan tak berhijab. Bisa dibilang, mendobrak stereotipe. Jika saja, masih konsisten dengan hijab dan misi baiknya.

Di luar kreativitas design, di sini sekali lagi saya tidak menyalahkan pihak manapun. Perubahan itu wajar, the only constant is change. Apapun strateginya, model berhijab atau tidak, bagi saya titik pentingnya bukan di sana. Tapi 'spirit hijabers' untuk mengangkat 'martabat muslimah berhijab' di mata dunia ini yang tak boleh luntur.

Saya yakin Dian Pelangi seringkali dihujat karena hijabnya yang tak sesuai syariat atau apapun. But at least, dia konsisten hingga sekarang. Bahkan dengan gigih mengusahakan semua modelnya mengenakan hijab di runaway Paris Fashion Week 2018 beberapa minggu lalu.

Bagi saya, itu mengharukan. Ketika banyak desainer muslim yang 'banting setir' di negeri sendiri, Dian bersikukuh membela karya hijabnya di kota paling fashionable di dunia. Spirit ini yang saya kagumi.

"Menjadikan Indonesia sebagai kiblat fashion muslim dunia"

bukankah ini ide awalnya?

Saya suka kreativitas, inovasi, fashion, bisnis, tapi di atas segalanya, 'misi baik' adalah yang terbaik. Saya harap para desainer muslim di Indonesia tetap menjaga misi baiknya, dengan cara yang baik pula. Apapun DNA brand-nya, selalu ada cara untuk memberikan impact postif untuk bangsa dan agama.

Bagaimana menurutmu?

Photo: Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash


Share:

2 komentar