I’d Rather be Lonely than Living Together with Wrong Person



Road to usia baru saya, late twenty. Kali ini saya mau bahas pernikahan. Yang mungkin akan menggambarkan mengapa, di usia ini saya belum menikah.

Dahulu kala, saya tak pernah bermimpi ada di posisi ini. Bekerja kantoran, belum menikah, jauh dari keluarga. Sama sekali tak ada di bayangan saya. Saya tak pernah mengira mama dan bapak akan pergi saat saya belum lulus jadi sarjana, bahkan bapa pergi sebelum saya lulus SMA.  Tak pernah terbayangkan akan hidup sesendiri ini.

Dulu, saya selalu bermimpi jadi istri yang nurut sama suami. Saya selalu membayangkan pagi hari yang sibuk di dapur, anak yang lucu, dan suami yang hebat. Sementara saya jadi ibu yang bekerja di rumah.

Saya tak pernah bermimpi macam-macam soal karir saya. Lebih tepatnya tak terbayang apa-apa. Yang saya tahu, saya akan bekerja dari rumah. Kalau kata Marissa Anita: I don’t wanna be a bad mother. Kalau kata Ainun Kepada Habibi: The big you and the small i.

Kalaupun jalan-jalan ke luar negeri ataupun hidup di luar negeri, yang ada di benak saya adalah ‘ikut suami’. Saya akan menemani suami saya ke manapun ia pergi, saya ingin jadi istri yang baik, yang soleha. (jangan ketawa ya bacanya)

Tidak-punya-mimpi soal karir itu masih berjalan hingga saya lulus kuliah. Saat saya merasa berada dalam ruang kerja yang tidak sesuai passion saya. Meski tak memimpikan kerja di kantor besar, saya tetap tidak mau bekerja di tempat yang tidak membuat saya bersemangat.

Mungkin, dari situ lah, jalan tak sesuai dengan perkiraan saya.

Saya bekerja di Jakarta, tanpa sanak saudara. Takdir menyeret saya pada sesuatu yang tidak saya bayangkan sebelumnya: bekerja, kantoran, sibuk sendiri. Bagaimana dengan mimpi jadi istri yang soleha itu? Belum terlihat pencerahannya, saudara-saudara.

Saya menjalani sesuatu yang ada di hadapan saya, seperti air mengalir. Saya masih menyimpan rapat mimpi saya dahulu, yang ternyata belum Allah izinkan untuk saya jalani.

Tapi ternyata mimpi yang ‘delay’ itu justru memberikan pemikiran baru bagi saya. Sepertinya Allah benar-benar ingin membangunkan saya, dari mimpi yang biasa biasa saja. Seakan-akan saya diberi waktu untuk menggali potensi saya sebelum saya menikah. Atau mungkin, Allah ingin membekali saya ilmu yang lebih baik sebelum bisa menjadi apa yang saya impikan sesungguhnya.

Ternyata saya suka mengerjakan ini itu, yang sebelumnya saya pikir ‘itu nggak saya banget’. Saya mencoba ini itu yang sebelumnya saya pikir saya tidak bisa mengerjakannya. Saya melihat sesuatu di diri saya yang selama ini saya pikir tidak ada.

Mungkin sebagian orang mengira saya banyak berubah. Tidak, bukan itu, tapi saya mengeluarkan ‘sisi lain’ dari diri saya yang selama ini tersembunyi. Yang dulunya lemah lembut, sekarang mungkin lebih tegas. Yang dulunya terlalu ‘mengalir mengikuti arus’, sekarang tahu ke mana harus melangkah.

Jika saya menikah di usia 25 tahun, mungkin saya tidak menyadari semua itu.

Cara pandang saya tentang menikah di usia 23, 25, dan sekarang tentunya juga berbeda. Ada beberapa prinsip yang saya ‘koreksi’ agar bisa saya toleransi. Bukan, bukan berarti jadi lebih pilih-pilih (ada yang mau juga syukur yes). Tapi ada beberapa pandangan yang memang berubah, yang menurutku itu lebih baik. Lebih baik sadar sekarang daripada nanti sudah menikah terus menyesal kan?

Semakin ke sini, saya pun lebih menghargai kesendirian saya. Ada rasa khawatir apakah ada seseorang yang bisa menerima kekurangan saya selama-lamanya. Jikalau ternyata sendiri lebih baik daripada bersama dengan orang yang salah, saya bisa apa?

Tentu, tentu saya sering merasa kesepian. Orang-orang pulang ke rumah, bertemu keluarga. Saya harus menunggu berminggu-minggu untuk bisa pulang kampung. Orang lain masih ditelepon papa-mamanya ditanyakan kabar, saya harus memastikan diri saya baik-baik saja meski tak ada yang menanyakan. Orang lain pulang pergi bandara diantar keluarga, saya harus bahagia jika hanya diantar supir Grab.

Sendiri itu kadang nggak enak. Tapi saya nggak bisa membayangkan ke-nggak-enak-an hidup jika bersama orang yang salah. Bukan pasangan saja, tapi keluarganya. Karena berumah tangga bukan tentang satu dua orang kan?

Ya, mungkin sekarang saya masih dimanjakan oleh rasa takut saya. Atau sesederhana, belum ada jodohnya saja. 

Tapi alhamdulillah saya sangat menghargai dan menikmati waktu saya sekarang. Saya bahagia dengan jalan yang saya pilih. Saya bangga pada diri saya sendiri. Saya beruntung masih punya pekerjaan yang baik, keluarga yang mendukung, sahabat yang pengertian, rekan kerja yang bersemangat, pacar yang sabar (dan ganteng kata orang Lol). Karena apapun yang kita hadapi, kita masih bisa memilih untuk bahagia. Itu pilihan, kok.

Demikian curhat saya kali ini. Tulisan ini dibuat satu minggu sebelum usia 28 tahun dan di-post satu hari sebelum tanggal 23 Oktober. Mungkin suatu hari nanti saya akan menertawakan tulisan ini, atau mungkin ingin kembali ke masa-masa ini. Entahlah. Tapi jika saya baca lagi tulisan ini bertahun-tahun nanti, mungkin yang bisa saya sampaikan hanya satu:


Mia, apapun yang sedang kamu hadapi sekarang, kamu tahu kunci kebahagiaan hanya satu: bersyukur.




Share:

5 komentar