Apakah Kamu Sulit Bahagia? Apakah Bahagia masih Sederhana?



‘Bahagia itu sederhana’, jadi quotes sejuta umat. Entah dari mana asal muasalnya, tapi quotes itu dengan mudah jadi viral bagaikan peribahasa yang diajarkan saat sekolah. Kemudian tambah viral ketika dijadikan lirik lagu oleh Abdul Coffee Theory terus dibuat lagu lagi oleh Cita Citata.

Betapa kalimat itu begitu melekat, begitu mewakili banyak orang. Wajar, karena semua orang ingin merasa bahagia. Semua orang juga pernah merasakan bahagia. Rasa bahagia itu milik semua orang, semua kasta.

Maka wajar, jika ‘bahagia itu sederhana’ jadi suatu cuitan yang menarik. Karena di tengah hiruk pikuk orang-orang mencari kebahagiaan dengan uang, tahta, wanita, ternyata ada orang-orang yang berbahagia dengan hal-hal kecil. Dan saya, selalu merasa iri dengan orang-orang itu.

10 tahun yang lalu, saya rasa bahagia itu memang sederhana. Dapat nilai 8 untuk pelajaran Fisika atau sesederhana melihat gebetan lewat di depan kelas itu sudah membahagiakan. Lima tahun berikutnya bahagia adalah tentang tanda tangan dosen tanda ia menerima skripsi saya. Lima tahun kemudian, yang berarti tahun ini, kok ya bahagia jadi lebih rumit.

Kenapa? Simple juga sih alasannya. Sekarang semakin mudah membandingkan kebahagiaan dengan orang lain. Ada teknologi bernama social media, di mana orang-orang tumpah ruah memperlihatkan kesehariannya: wajah mulus, bagu bagus, suami baik hati, anak lucu, masakan enak, jalan-jalan gratis.

Padahal, ya nggak semua nyata. Masa iya mau posting tangisan (ntar jadi viral).

Dan entah kenapa, ada sebuah nilai baru yang diperlombakan di sana: eksistensi. Meski mereka tidak ada niat sama sekali untuk ngeksis, tapi media sosial emang ajang buat ngeksis kok. Meski tak ada niat untuk sombong, kalau keluar negeri ya masa nggak posting foto sama sekali?

Hal-hal sederhana yang kita lakukan di sosial media tanpa kita sadar bisa mengukir image baru tentang kita di mata orang lain. 

“Wah, Mia jadi selebgram ya sekarang? Suka di-endorse?”

Kok ya saya nggak suka dikomentarin gini. Saya pun melihat lagi timeline Instagram saya, OMG emang isinya banyak barang endorsan gimana dong. 

Ternyata orang bisa dengan begitu cepatnya memberikan penilaian. Persis seperti saya yang menilai jadi Dian Pelangi itu enak jalan-jalan keluar negeri terus. Jadi Laudya Cynthia Bella itu enak punya suami kaya dan ganteng. Jadi Ayla Dimitri itu enak karena selalu ada di acara-acara hits ibukota.

Jangan jauh-jauh deh melihat selebgram. Melihat teman saya sendiri, saya jadi lebih mudah merasa iri. 

“Kok dia enak ya kerjanya jalan-jalan keluar negeri mulu?’
“Kok dia enak ya suaminya romantis banget”
“Anaknya lucu banget ya, sehat, ceria”
“Rumahnya bagus, Instagramable banget”
“Gue kapan dong punya suami-rumah bagus-jalan jalan keluar negri gratis juga?”
“Gue kok gini-gini aja ya hidupnya”

Tuh kan ujung-ujungnya jadi nggak bersyukur. Padahal saya alhamdulillah hidup nyaman, bisa makan sehat, tidur nyenyak, punya kerjaan tetap, keluarga rukun, punya sahabat juga. 

Dengan melihat apa yang ditampilkan orang lain, terkadang malah memperumit kebahagiaan sendiri. Kufur nikmat, over thinking.

Padahal, jika diurutkan peringkatnya dibandingkan teman-teman saya, saya masuk ke kategori cuek dan anti-iri. Tapi baru tahun 2018 saya bisa merasakan namanya tersiksa iri hati dan susah bahagia.

Akhirnya, saya banyak merenung. Kok ya cape ya melihat ‘pemandangan dunia di sosial media’. 

Tapi ya, bukan salah mereka dong kalau posting yang bagus-bagus. Yang salah siapa? Ya pikiran saya sendiri.

Era digital ternyata tak hanya menuntut kita untuk lebih melek teknologi, tapi juga lebih pintar mengatur emosi. Rasa-rasanya harus ada peraturan khusus bermain sosmed: Nggak usah baper. Karena apa yang kamu lihat, itu fana.

Jangan sampai apa yang kita lihat di sosial media mengubah standar kebahagiaan kita. Yang tadinya happy makan nasi rames, jadi ikut-ikutan pengen mie ramen. Yang tadinya happy pakai Nokia jadi ikut-ikutan pengen iPhone X.

Sudahlah, kembalikan lagi standar kebahagiaan kita yang sederhana. Kebahagiaan bukan tentang apa yang kita dapatkan kok, tapi seberapa besar kita menghargai apa yang kita punya.

Dunia nggak ada ujungnya, nggak usah capek-capek mengejar itu semua. 

Kita nggak bisa menutup mata apalagi mengatur orang lain harus mem-posting apa. Yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan diri. Kebahagiaan itu datangnya dari pikiran sendiri. Kita bisa memilih kapan kita merasa senang kapan kita merasa sedih.

Saya berusaha untuk mempercayai diri sendiri, bahwa saya pemegang kendali. Apa yang terjadi kepada saya hanyalah tempaan saja, saya yang atur reaksinya. Mau sedih, senang, tertawa, meringis, menangis, Allah memberikan kemampuan untuk mengendalikan itu semua di tangan saya. 

Jadi, apakah bahagia masih sederhana? Jawabannya iya.


Saya ingin jadi orang yang mudah dibahagiakan, mudah membahagiakan, mudah untuk berbahagia. Karena untuk apa hidup kalau sulit bahagia?

Share:

0 komentar