Pintar Berkomentar VS Pintar Mendengar


Halo, apa kabar yang di sana? Di sini sedang memikirkan sesuatu yang tak terlalu rumit tapi cukup membelit di pikiran. Hal yang sederhana sebenarnya, sesuatu yang lazim kita lakukan sehari-hari bahkan setiap hari, yaitu tentang mendengarkan dan berkomentar.

Sebelumnya, aku mau cerita tentang kebiasaan di keluargaku. Aku lahir di tengah keluarga yang tidak terlalu cerewet, cenderung pendiam. Bisa dibilang aku paling cerewet lho di rumah, padahal di lingkungan pertemanan, aku tak terlalu pandai berbicara.

Tapi keluargakulah yang mengajarkanku untuk berhati-hati saat berbicara, apalagi mengomentari orang lain. Teh Dewi misalnya, kakak perempuan terdekatku yang paling aku turuti penilaiannya tentang fashion. Dia sekolah fashion dari SMA hingga bekerja di bidang fashion kurang lebih 10 tahun kayanya.

Jika suatu hari, aku memakai busana yang kurang cocok atau terlihat gendut, dia jarang banget berkomentar negatif apalagi mengejek. Sebaliknya, kalau aku sedang berpakaian yang cocok, dia akan mengapresiasi atau memuji dan memberiku saran yang berarti.

Ini nggak hanya terjadi sekali, tapi berkali-kali. Tak hanya terjadi pada teh dewi, tapi pada kakak-kakakku yang lain. Mereka sangat berhati-hati dalam berkomentar. Sesuatu yang buruk memang harus diluruskan, tapi ada adab yang mereka junjung tinggi yang secara tak sadar membangun sebuah prinsip baru di hidupku.

Ada poin positif ada pula poin negatif dari cara mendidik seperti itu.

Aku, kadang sulit menerima komentar buruk. Aku tak terbiasa dengan kata-kata negatif. Sering mudah kecewa, mudah menyerah. Tapi bukan berarti setelah terpuruk aku tidak bangun lagi kok! Kata-kata cemooh memang asing di telingaku, tapi jadi asing juga untuk aku ucapkan, apalagi untuk orang yang tidak dikenal.

Nah, ini poinnya.

Sekarang justru orang sangat mudah ya mencemooh? Jujur, aku ‘salut’ lho sama netizen yang lihai jemari tangannya mengomentari orang-orang (yang mungkin tak mereka kenal, dan tak kenal mereka) di media sosial. Hhmm.. macem cenanyang mereka itu. (baca: sok tahu).

Mengkritik itu boleh, toh kebebasan berpendapat memang sudah diatur oleh Undang-Undang di negara ini. Meluruskan sesuatu yang salah, juga boleh, toh dalam agama kita diwajibkan untuk mengingatkan saudara kita ke jalan yang benar.

Tapi, ada adabnya.

Jika, adab itu belum kita pahami, belum kita kuasai. Bisakah kita belajar untuk pintar mendengar terlebih dahulu? Sesederhana berusaha membaca caption di media sosial sampai habis. Karena banyak lho orang yang berkomentar tanpa membaca caption terlebih dahulu.

(Ehm, tau dong sista-sista pelanggan online shop yang nanya harga barang di komentar, padahal uda ditulis di caption?)

Semacam itulah ya.

Mungkin, prasangka kita akan terjawab jika kita mendengarkan terlebih dahulu secara lengkap. Mungkin cara kita mengkritik akan tersampaikan dengan lebih baik jika kita memahami duduk permasalahannya. 

Listen, just listen with all our mind and our heart.

Kadang, kita mendengar sambil menunggu waktu untuk berbicara dan berkomentar. Ya nggak salah juga sih, kadang kita juga seneng kok dikomentarin (curhat kan pengen direspons ya?). Apalagi komentar di Instagram bikin engagement naik. 

Tapi menurut pandanganku, betapa indahnya dunia ini jika kita tak hanya pintar berkomentar tapi juga pintar mendengar. Lebih paham, lebih bijak, lebih bisa memilah kata untuk dilontarkan. Karena kata bisa menyakiti hati lebih dari pedang yang tajam.


Well, tapi ya kita emang nggak bisa ya menutup mulut orang lain untuk tidak berkomentar buruk. Ada kalanya telinga kita yang harus ditutup dan hati yang harus lebih tegar menerima semua komentar. Di antara ribuan bahkan jutaan orang yang senang berkomentar buruk, setidaknya kita tidak jadi salah satunya.

Share:

0 komentar